Penjelasan



AMANAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

 

    Dengan surat tertanggal, Jakarta 31 Juli 1978, No. R. 02/P.U./VII/1973, Presiden telah menyampaikan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan.

 

    Adapun isi surat tersebut adalah sebagai berikut:

 

Jakarta, 31 Juli 1973.

 

 

Nomor Lampiran

Perihal

 

:

:

:

 

R.02/P.U./VII/1973.

1 (satu).

Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan

KEPADA YTH.:

SDR. PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

di

J A K A R T A.

Dengan ini Pemerintah menyampaikan:

 

Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan

 

untuk dibicarakan dalam Sidang Dewan Perwakilan Rakyat guna mendapatkan persetujuannya, dengan prioritas utama.

Selanjutnya: dengan Amanat ini, Pemerintah menyatakan menarik dua Rancangan Undang-undang yang telah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Gotong Royong) yaitu:

 

    1. Rancangan Undang-undang tentang Peraturan Perkawinan Ummat Islam, sebagaimana telah disampaikan dengan Amanat Presiden Nomor R 02/PRES/5/1967 tanggal 22 Mei 1967.

    2. Rancangan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan sebagaimana telah disampaikan dengan Amanat Presiden Nomor R 010/P.U./HK/9/ 1968 tanggal 7 September 1968.

 

    Untuk keperluan persidangan Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana disampaikan dengan Amanat Presiden ini, kami persilahkan Sdr. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat berkenan menghubungi Sdr. Menteri Kehakiman dan Menteri Agama.

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 

 

Tembusan disampaikan kepada:

 

    1. Menteri Kehakiman,

 

    2. Menteri Agama,

 

    3. Sekretaris Jenderal D.P.R.-R.I.

t.t.d.

 

 

S O E H A R T O

JENDERAL TNI.

 

RANCANGAN

 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR.....TAHUN 1973

TENTANG

P E R K A W I N A N

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

 

    bahwa sesuai dengan dasar falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga-negara.

 

Mengingat :

 

    1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945;

 

    2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

 

      Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

 

M E M U T U S K A N

 

        Menetapkan : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKAWINAN.

        BAB I

DASAR PERKAWINAN

 

Pasal 1.

 

    Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Pasal 2.

 

    (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan fihak-fihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

    (2) Pencatatan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan oleh pejabat negara yang diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

 

Pasal 3.

 

    (1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

    (2) Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

 

Pasal 4

 

    (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

    (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

 

      a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

      b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

      c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

 

Pasal 5

 

    (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

 

      a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

      b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

      c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

 

    (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

 

 

BAB II

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

 

Pasal 6.

 

    (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

    (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

    (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud dalam ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

    (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

    (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

 

Pasal 7.

 

    (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 18 (delapan belas) tahun.

    (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat diminta dispensasi kepada Pengadilan oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

    (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini.

 

Pasal 8

 

    Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

      a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;

      b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yang syah atau tidak sah, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

      c. berhubungan sebagai anak angkat dan orang tua angkat atau anak-anak dari orang tua angkat;

      d. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

      e. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara sususuan dan bibi/paman susuan;

      f. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

 

Pasal 9.

 

    Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

 

Pasal 10.

 

    Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi.

 

Pasal 11.

 

    (1) Pada azasnya perkawinan yang dianut menurut Undang-undang ini adalah perkawinan berdasarkan sistim parental.

    (2) Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.

 

Pasal 12

 

    (1) Bagi janda wanita ditetapkan jangka waktu tunggu 306 (tiga ratus enam) hari, kecuali kalau ternyata dia sedang mengandung dalam hal mana waktu tunggu ditetapkan sampai 40 (empat puluh) hari sesudah lahirnya anak.

    (2) Jangka waktu yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak dipersyaratkan dalam hal:

      a. Umur janda sudah 52 (lima puluh dua) tahun;

      b. Janda setelah meninggalnya suami, melahirkan anak;

      c. Janda mempunyai keterangan dokter bahwa ia setelah 100 (seratus) hari meninggalnya suami atau terjadinya perceraian tidak hamil.

 

BAB III

PERTUNANGAN

 

Pasal 13.

 

    (1) Perkawinan dapat didahului dengan pertunangan.

    (2) Bila pertunangan itu mengakibatkan kehamilan, maka pihak pria diharuskan kawin dengan wanita itu, jika disetujui oleh pihak wanita.

    (3) Dalam hal pertunangan dibatalkan, maka pihak yang bersalah dapat diwajibkan untuk memikul akibatnya, apabila ada pemberian tanda pengikat dan/atau pengeluaran untuk persiapan perkawinan.

 

 

BAB IV

TATA CARA PERKAWINAN

 

Pasal 14.

 

    (1) Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan maksud itu kepada pegawai pencatat perkawinan didaerah tempat tinggal salah satu pihak.

    (2) Pemberitahuan itu dapat dilakukan sendiri atau dengan surat-surat yang cukup jelas dan cukup memberi kepastian.

    (3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan termaksud dalam ayat (2) pasal ini pegawai pencatat perkawinan mengumumkan hal itu dengan cara menempelkannya di Kantor pencatat perkawinan.

    (4) Perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum hari kesepuluh terhitung mulai hari pengumumannya.

    (5) Perkawinan harus dilangsungkan secara terbuka untuk umum dimuka pegawai pencatat perkawinan dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun dan bertempat tinggal di Indonesia.

    (6) Sebelum perkawinan dilangsungkan wajib kepada pegawai pencatat perkawinan diserahkan segala keterangan yang dapat membuktikan mengenai identitas calon mempelai dan keterangan-keterangan lainnya guna melangsungkan perkawinan.

    (7) Pegawai pencatat perkawinan membuat akte perkawinan, yang ditanda-tangani atau dibubuhi cap jari tangan kiri oleh kedua mempelai dan kedua saksinya.

    (8) Tata cara pelaksanaan selanjutnya diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

 

Pasal 15.

 

    Perkawinan dapat dicegah, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan atau apabila tidak ada pengumuman untuk melangsungkan perkawinan.

 

Pasal 16.

 

    (1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

    (2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

 

Pasal 17.

 

    Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

 

Pasal 18.

 

    (1) Jaksa atau Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 ayat (1) Undang-undang ini tidak dipenuhi.

    (2) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 19.

 

    (1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.

    (2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan termaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 20.

 

    Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

 

Pasal 21.

 

    (1) Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

    (2) Apabila perkawinan dilangsungkan sedangkan pencegahan belum dicabut maka perkara mengenai pencegahan dapat dilanjutkan, dan perkawinan dinyatakan batal bila alasan-alasan pencegahan diterima.

 

Pasal 22.

 

    Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 ayat (1) Undang-undang ini meskipun tidak adanya pencegahan perkawinan.

 

Pasal 23.

 

    (1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat, bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang atau jika surat-surat dan keterangan-keterangan dalam Pasal 14 ayat (6) Undang-undang ini dipandang tidak cukup, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

    (2) Didalam hal penolakan, maka atas permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

    (3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.

    (4) Pengadlian akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.

    (5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

 

 

BAB V

BATALNYA PERKAWINAN

 

Pasal 24.

 

    Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

 

Pasal 25.

 

    Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :

 

    a. Para keluarga dalam garis kerturunan lurus keatas dari suami atau isteri;

    b. Suami atau isteri;

    c. Jaksa hanya selama perkawinan belum diputuskan;

    d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 18 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

 

Pasal 26.

 

    Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

    Pasal 27.

 

    Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

 

Pasal 28.

 

    (1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

    (2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan.

 

Pasal 29.

 

    (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

    (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

    (3) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan-alasan tersebut dalam ayat (1) dan (2) pasal ini gugur, apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri selama 6 (enam) bulan setelah ancaman berhenti dan yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan tidak mengajukan permohonan pembatalan.

 

Pasal 30.

 

    (1) Pembatalan suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

    (2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:

      a. Anak -anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

      b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

      c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

 

BAB VI

PERJANJIAN PERKAWINAN

 

Pasal 31

 

    (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsuungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

    (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

    (3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

    (4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

 

 

BAB VII

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

 

Pasal 32.

 

    Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah-tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

 

Pasal 33.

 

    (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

    (2) Masing-masing pihak berhak untuh melakukan perbuatan hukum.

 

Pasal 34.

 

    (1) Suami isteri wajib serumah-setempat kediaman.

    (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersnma.

 

Pasal 35.

 

    Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

 

Pasal 36.

 

    (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah-tangga sesuai dengan kemampuannya.

    (2) Jika suami lalai untuk memenuhi kewajiban tersebut pada ayat (1) pasal ini isteri dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

    (3) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

BAB VIII

HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

 

Pasal 37.

 

    (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama.

    (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

 

Pasal 38.

 

    (1) Mengenai harta benda milik bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

    (2) Masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

 

Pasal 39.

 

    Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda milik bersama dibagi sama antara bekas suami dan isteri.

 

 

BAB IX

PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

 

Pasal 40.

 

    (1) Perkawinan putus karena kematian, perceraian dan keadaan tidak hadlir suami atau isteri di tempat tinggalnya selama 2 (dua) tahun sedangkan khabar tentang hidup atau matinya tidak pernah diperolehnya dan diikuti dengan perkawinan baru isterinya atau suaminya yang dilangsungkan dengan izin Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal terakhir pihak yang tidak hadlir setelah diadakan panggilan kepadanya dan setelah mendengar Kepala Daerah.

    (2) Permintaan perceraian harus diajukan kepada Pengadilan tempat tinggal pihak yang digugat, atau jika tempat tinggal pihak yang digugat tidak diketahui atau sukar dicapai, pada Pengadilan tempat tinggal pemohon.

 

Pasal 41.

 

    Alasan yang dapat mengakibatkan perceraian hanyalah sebagai berikut:

    a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

    b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;

    c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat, setelah perkawinan berlangsung;

    d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

    e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

    f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

 

Pasal 42.

 

    Gugatan perceraian dilakukan dengan menggunakan hukum acara perdata yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:

 

    a. Hakim Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian akan mencoba mendamaikan kedua belah pihak;

    b. Selama perkara belum diputus usaha mendamaikan dapat dilakukan pada tiap-tiap tingkat pemeriksaan;

    c. Jika tercapai suatu perdamaian, maka tidak dapat diajukan perkara perceraian baru berdasarkan kejadian-kejadian yang ada sebelum perdamaian dan pada waktu diadakan perdamaian telah diketahui oleh penggugat;

    d. Jika perdamaian tidak dapat tercapai maka pemeriksaan dilakukan dengan sidang tertutup;

    e. Keputusan diucapkan dalam sidang terbuka;

    f. Jika perceraian telah mempunyai kekuatan hukum, Panitera dari Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama mengirim satu salinan dari keputusan tanpa bermeterai tersebut kepada pegawai pencatat perkawinan dimana perkawinan dicatat, lagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan tersebut dikirimkan kepada pegawai pencatat perkawinan di Jakarta.

 

Pasal 43.

 

    (1) Jika salah satu pihak dari suami-isteri, terhadap siapa oleh pihak lainnya diajukan gugatan perceraian, tidak diketahui tempat tinggalnya dan di Indonesia tidak mempunyai tempat kediaman yang ketahuan; sidang pengadilan akan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan setelah gugatan perceraian diterima oleh Pengadilan.

    (2) Pihak tergugat akan dipanggil melalui suatu pengumuman disalah satu atau beberapa surat kabar yang terbit di Indonesia atau mass media lainnya, surat kabar atau surat-surat kabar serta mass media mana akan ditentukan oleh Pengadilan dan pengumuman tersebut harus dimuat secara jelas dan tampak.

    (3) Penempatan di surat kabar atau surat-surat kabar dan mass media lainnya akan dilakukan 2 (dua) kali dengan jarak antara l (satu) bulan dan jangka waktu antara hari perrsidangan dan pengadilan terakhir sedikitnya 3 (tiga) bulan.

    (4) Didalam 14 (empat belas) hari setelah panggilan yang pertama salinan panggilan akan ditempelkan pada suatu tempat persidangan Hakim Pengadilan yang dapat dilihat oleh umum dan salinan yang kedua akan diserahkan kepada Jaksa dengan diberi tanggal, yang oleh Jaksa akan ditandatangani dan dibubuhi perkataan "telah melihat".

    (5) Panggilan harus memuat: gugatan untuk perceraian; nama; nama kecil dan pekerjaan dari suami/isteri; pemberitahuan mengenai Hakim atas perintah siapa panggilan tersebut diadakan; tanggal dari surat perintah; juga hari; jam dan tempat kehadliran; nama; huruf depan dan tempat tinggal juru sita.

    (6) Jika sebelum hari kehadliran, tempat kediaman dari tergugat diketahui oleh Pengadilan, maka para pihak dapat dipanggil oleh Pengadilan pada hari dan jam yang ditentukaan.

 

Pasal 44.

 

    (1) Adanya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta catatan perkawinan yang dibuat oleh pegawai pencatat perkawinan.

    (2) Jika ternyata tidak ada daftar-daftar atau daftar tersebut hilang atau jika tidak ada akta perkawinan, maka bukti tentang adanya perkawinan diputuskan oleh Pengadilan tempat perkawinan dilangsungkan /dicatat dengan saksi 2 (dua) orang.

 

Pasal 45.

 

    (1) Dalam hal gugataan perceraian karena salah seorang suami atau isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih berat, maka untuk mendapat keputusan perceraian pihak penggugat sebagai bukti menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutus perkara disertai dengan surat keterangan Pengadilan bahwa keputusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum.

    (2) Gugatan perceraian karena tergugat meninggalkan penggugat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sub b Undang-undang ini, diajukan pada Pengadilan ditempat tergugat, setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung mulai tergugat meninggalkan rumah. Gugatan hanya dapat diterima jika pihak yang lain berkeras untuk tidak kembali kerumahnya.

    (3) Gugatan perceraian didasarkan atas perselisihan dan pertengkaran dimaksud Pasal 41 sub f Undang-undang ini hanya dapat diterima apabila gugatan cukup beralasan setelah mendengar pihak keluarga dan orang yang dekat dengan suami isteri.

 

Pasal 46.

 

    Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, ialah:

 

    a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

    b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

    c. Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami menurut kemampuannya memberi biaya penghidupan kepada bekas isterinya selama ia masih hidup dan belum bersuami lagi;

    d. Pengadilan dapat menentukan kewajiban apa dan jumlah biaya yang diberikan kepada bekas suami dan bekas isteri.

 

Pasal 47.

 

    (1) Keputusan peceraian harus dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang ditempat perceraian telah terjadi.

    (2) Salinan dikirimkan kekantor pencatat dimana perkawinan dilangsungkan.

    (3) Tentang pencatatan yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

 

 

BAB X

KEDUDUKAN ANAK

 

Pasal 48.

 

    Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

 

Pasal 49.

 

    (1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

    (2) Anak yang dimaksud dalam ayat (l) pasal ini dapat diakui oleh ayahnya.

    (3) Anak yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini dapat disahkan dengan perkawinan.

 

Pasal 50.

 

    (1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.

    (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

    (3) Sahnya anak dapat disangkal apabila:

 

      1. Anak itu dilahirkan sebelum cukup 180 (seratus delapan puluh ) hari perkawinan atau 300 (tiga ratus) hari atau lebih sesudah perkawinan putus.

      2. Suami dapat membuktikan bahwa selama waktu 300 (tiga ratus) hari sampai 180 (seratus delapan puluh) hari sebelum anak itu dilahirkan ia tidak mungkin berkumpul dengan isterinya.

 

BAB XI

HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

 

Pasal 51.

 

    (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

    (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat terdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

 

Pasal 52.

 

    (1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

    (2) Jika akan telah dewasa ia wajib memelihara menurut kekuatannya orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

 

Pasal 53.

 

    (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

    (2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar Pengadilan.

    (3) Yang menjalankan kekuasaan orang tua ialah bapak. Jika bapak dicabut dari kekuasaannya ibu juga menjalankan kekuasaan tersebut.

    (4) Yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah kekuasaan yang melekat pada bapak atau ibu didalam perkawinan atau sesudah putusnya perkawinan.

 

Pasal 54.

 

    Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

    Pasal 55.

 

    (1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:

 

      a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

      b. Ia berkelakuan buruk sekali.

 

    (2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

 

 

BAB XII

PERWALIAN

 

Pasal 56.

 

    (3) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

    (4) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

 

Pasal 57.

 

    (1) Wali dapat ditunjuk oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi.

    (2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil jujur dan berkelakuan baik.

    (3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta benda sebaik-baiknya, dengan menghormati agama anak itu.

    (4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

    (5) Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

 

Pasal 58.

 

    Terhadap wali berlaku juga pasal 54 Undang-undang ini.

 

Pasal 59.

 

    (1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 55 Undang-undang ini.

    (2) Dalam hal kekuasaan seseorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

 

Pasal 60.

 

    Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

 

BAB XIII

KETENTUAN - KETENTUAN LAIN

 

Bagian Kesatu

Pembuktian asal-usul anak

 

Pasal 61.

 

    (1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.

    (2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

    (3) Atas dasar ketetapan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

 

 

Bagian Kedua

Pengangkatan Anak

 

Pasal 62.

 

    (1) Suami isteri bersama-sama dapat mengangkat seorang anak atau lebih.

    (2) Yang dapat diangkat menjadi anak angkat ialah anak yang belum kawin dan belum diangkat oleh orang lain.

    (3) Anak yang diangkat sekurang-kurangnya harus 18 (delapan belas) tahun lebih muda dari suami dan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun lebih muda dari isteri.

    (4) Apabila anak yang diangkat itu masih saudara dari suami isteri dalam hubungan keluarga dia tidak boleh mempunyai derajat kekeluargaan yang lebih tinggi dari suami yang mengangkatnya.

    (5) Untuk pengangkatan anak diperlukan izin dari orang tua atau walinya dan persetujuan anak itu sendiri apabila ia telah berumur 15 (lima belas) tahun.

    (6) Pengangkatan anak dilakukan dengan keputusan Pengadilan atas permohonan suami dan isteri yang mengangkat anak itu.

    (7) Permohonan pengangkatan yang dimaksud ayat (6) pasal ini dapat diterima apabila pengangkatan itu menguntungkan kepentingan anak yang diangkat.

    (8) Anak yang diangkat mempunyai kedudukan yang sama seperti anak yang sah dari suami isteri yang mengangkatnya.

    (9) Pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hubungan keluarga antara anak yang diangkat dengan keluarganya sedarah dan semenda garis keatas dan kesamping.

    (10) Pengangkatan anak dapat dicabut kembali oleh keputusan Pengadilan atas permohonan anak yang diangkat demi kepentingannya. Permohonan pencabutan diajukan secepat-cepatnya 2 (dua) tahun dan selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah anak itu berumur 18 (delapan belas) tahun.

    (11) Pencabutan ini mengakibatkan bahwa anak tersebut tidak lagi mempunyai kedudukan hukum sebagai anak sah dari suami dan isteri yang mengangkatnya.

    (12) Hubungan keluarga yang putus karena pengangkatan yang dimaksud ayat (9) pasal ini, hidup kembali karena pencabutan.

 

 

Bagian Ketiga

Perkawinan diluar Indonesia

 

Pasal 63.

 

    (1) Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Bab I dan II Undang-undang ini.

    (2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.

 

 

Bagian Keempat

Perkawinan Campuran

 

Pasal 64.

 

    Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

 

Pasal 65.

 

    Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia.

 

Pasal 66.

 

    (1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.

    (2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini.

 

Pasal 67.

 

    (1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.

    (2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tindak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang belaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

    (3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.

    (4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut tadi.

    (5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

 

Pasal 68.

 

    (1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

    (2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 67 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.

    (3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

 

Pasal 69.

 

    Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan pasal 66 ayat (1) Undang-undang ini.

 

BAB XIV

KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 70.

 

    Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah.

 

Pasal 71.

 

    (1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat
             (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:

 

      a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;

      b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta benda milik bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;

      c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta milik bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

    (2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

 

 

BAB XV

KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 72.

 

    Untuk perkawinan dan segala sesuatunya yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijksordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 73.

 

    (1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    (2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

    Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

     

    Diundangkan di Jakarta

    pada tanggal

    Menteri/Sekretaris NEGARA R.I.

     

     

    SUDHARMONO, SH

    MAYOR JENDERAL TNI

    Disahkan di Jakarta

    pada tanggal

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

     

     

    S O E H A R T O

    JENDERAL TNI

    LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1973 NOMOR .....





    Quelle: Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman, Sekitar Pembentukan Undang-Undang Perkawinan beserta Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta 1975. und Amak, F. Z., Proses Undang-Undang Perkawinan. Bandung 1976, S. 109-131 (ohne amtl. Erläuterung)

 


Penjelasan